Diberdayakan oleh Blogger.

Buruk Sangka, Curiga, dan Waspada

Sumber Gambar: baltyra.com

Bagi seseorang yang tidak terlalu 'mengerenyitkan dahinya' tentu sangat sulit membedakan antara curiga dan buruk sangka. Bahkan ada juga kaum yang menyamakan antara keduanya, padahal secara kasat kedua perbuatan ini mempunyai perbedaan yang sangat mencolok baik dari sifatnya, bentuk dan hasilnya. 

1. Curiga 

Kecurigaan muncul akibat tidak bertemunya antara keharusan dengan kenyataan, dan untuk mengetahui pembuktiannya maka dibutuhkan analisa lebih lanjut. Sebagai contoh, si A menemukan si C tergeletak meninggal bunuh diri terdapat luka bacokan di setiap lekuk tubuhnya. 

Mari kita analisa contoh di atas:
Premis satu: 
Kenyataan = Orang meninggal bunuh diri   (X)
Keharusan = bekas bacokan di setiap lekuk tubuh  (Y) 
Analisa = Ia bunuh diri dengan cara menusuk tubuhnya (...) 
 X + Y = Banar Bunuh diri
  
Premis Dua:
Kenyataan: Bunuh diri.
Keharusan: Banyak cara untuk bunuh diri.
Analisa: kenapa ada bekas tusukan di leher?
X + Y = Si korban bukanlah bunuh diri melainkan dibunuh. 

2. Buruk Sangka

Burungka sangka muncul akibat salah dalam menempatkan prasangka, sehingga hasil dari prasangka semuanya salah. Sebagai contoh

3. Waspada 
 

 Waspada adalah hasil dari kebenaran analisa terhadap kecurigaan. Sebagai contoh,
   

Telaah Keberadaan Tuhan (Part II)

Sumber: www.anneahira.com
Dengan menggunakan empiris dan rasional eksistensi Tuhan selanjutnya bisa ditemukan. Sebelum menganalisa eksistensi Tuhan dengan dua metode ini ada baiknya perlu diketahui apa itu empiris dan rasio.

Empiris dan rasional merupakan bagian dari filsafat dan disebut-sebut sebagai bagian dari epistimologi (cara mendapatkan pengetahuan) filsafat. Fiilsafat Barat ataupun filsafat Islam sama-sama mengakui bahwa empiri dan rasional adalah elemen penting dalam epistimologi.

Empiris adalah suatu sember pengetahuan yang berasal dari penilitian manusia dengan menggunakan panca indera sebagi sumber utama. Contohnya seperti ini, setelah diteliti gempa terjadi karena adanya gesekan lempeng bumi, bukan karena adanya telinga lembu yang kemasukan lalat kemudian ia mengibas-ngibaskan kepalanya, sehingga bumi yang ia topang dengan tanduknya ikut terguncang karena kibasan kepalanya.

Rasional adalah sumber pengetahuan terletak pada akal. Jika akal bisa mencerna dan menganalisa sesuatu, maka bisa dikatakan sesuatu itu merupakan pengetahuan. 

1. Empiris.

Sudah disebutkan di part 1 bahwa untuk saat ini keberadaan Tuhan tidak bisa diindera karena sudah menjadi hukum alam dan sunatullah. Namun, manusia bisa menggunakan teknik empirisme untuk membuktikan keberaan Tuhan dengan meneliti ciptaan-ciptaan Tuhan. Seperti struktur burung yang mempunyai rongga dan penopang di tulangnya menandakan keberadaan Tuhan yang menciptakan burung itu.

Manusia memang tidak bisa mengindera Tuhan, namun mengindera Tuhan bisa lewat ciptaannya.

2. Rasional

Untuk membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional adalah dengan menggunakan rasional. Manusia harus memikirkan Tuhan itu ada. Untuk membuktikan Tuhan secara rasional maka coba menganalisa contoh di bawah ini.

Priseden Indonesia yang ketujuh adalah seorang anak manusia yang hidup di tahun ini (2015). Bagaimana jadinya, jika kakek presiden yang ke-12 tidak pernah ada? Maka presiden pun tidak ada. Karena presiden Indonesia yang ketujuh itu ada, itu berarti kakek presiden yang ke-12 itu pasti ada.

Begitu juga dengan alam jagad raya ini. Tidak mungkin, dengan susunannya yang apik, tidak diciptakan. Ada kekuatan yang maha dahsyat, maha sempurna dibalik keserasian alam ini. Harun Yahya dengan jeli menjelaskan keberadaan Tuhan melalui rasional dengan berdasarkan fakta empiris.

So, sekarang tinggal manusia yang tidak percaya dengan keberadaan Tuhan. Apakah Tuhan benar-benar sudah dicari?

Wallahu A'lam.

Telaah Keberadaan Tuhan (Part I)

Keberadaan Tuhan saat ini memang tidak bisa diindera, namun bukan berarti Tuhan itu misterius dan bukan pula tidak ada. Dalam Islam, keberadaan Tuhan bisa diindera jika seorang hamba menjadi kewarganegaraan surga. Ia tetap ada dan akan selalu ada mengawasi dan memperhatikan hamba-hambanya. Tuhan berada di dalam hati hamba-hamba yang meyakini keberadaan-Nya. Namun, sering kali manusia salah kaprah tentang Tuhan. Tuhan dimunculkan dengan bentuk perwakilan di muka bumi. Inilah akibat dari hasil imajiner yang tidak dipandu.

Ada banyak perwakilan Tuhan di dunia ini. Dan bentuknya yang bermacam-macam menandakan keragaman kesadaran manusia akan kehadiran-Nya. Sebut saja berhala-berhala di zaman jahiliyah, mereka mengasumsikan bahwa berhala sebagai penghubungan antara mereka dengan Tuhan. Adapula yang lebih kreatif, yaitu dengan mengasumsikan sesosok manusia merupakan jelmaan dari Tuhan. 

Untuk yang terakhir ini, sebenarnya, banyak sekali celah untuk mementahkan konsep ketuhanannya. Seperti, berdasarkan keyakinan mereka Tuhan menjelma sebagai manusia. Secara logika kalau Tuhan menjelma sebagai manusia otomatis segala organ, anatomi, dan fisik lainya serupa dengan manusia. Misalkan, manusia punya hidung, telinga, mata, mulut, ketiak, alat kelamin, alat buang, perut dll, nah Tuhan yang menjelma sebagai manusia juga punya organ-organ seperti itu. Namun yang menjadi permasalahnnya adalah apakah mungkin Tuhan itu punya ingus dikarenakan ia punya hidung, apakah mungkin tiap pagi Tuhan membutuhkan toilet untuk membuang air seni dan kotoran di dalam perutnya?

Oleh karena itulah, imajinasi manusia tentang Tuhan itu sangatlah liar, jika tidak dibimbing oleh Tuhan sendiri. Untuk membimbing manusia tentang keberadaan-Nya, maka Tuhan perlu menegaskan keberadaan-Nya, pengakuan-Nya, sifat-sifat-Nya di dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi melalui malaikat Jibril as.

Tentang keberadaan-Nya, Tuhan menyebutkan di dalam wahyun-Nya Al-Mulk ayat 16.

ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَآءِ اَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” 

Tentang pengakuannya sebagai Tuhan. Disebutkan-Nya di dalam Yunus ayat 3


"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?"

Kemudian Thaha ayat 14


"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku."
Sedangkan tentang sifat wujud-Nya, ada di dalam surat As-syuraa ayat 11.


"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat"


Dengan adanya panduan atau petunjuk Tuhan tenang diri-Nya sendiri, maka manusia tidak perlu lagi berspekulasi tentang bagaimana bentuk dan keberadaan Tuhan. Karena ia tidaklah sama dengan sesuatu apapun di muka bumi ini.

Menggugat kata اله yang disandingkan untuk tuhan palsu.

Sebenarnya pandangan ini adalah pandangan pribadi saya, yang pada hakikatnya bisa benar bisa saja salah (dan saya meyakini ada manusia sholeh di sebelah sana yang sudah memikirkan hal ini terlebih dahulu). Anda secara pribadi boleh menyetujuinya dan sangat boleh untuk menolak, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang alim lagi sholeh, "Semua perkataan manusia boleh diambil dan boleh juga ditolak, kecuali perkataan Nabi."

Sumber Gambar: heaval.blogspot.com
Permasalahan yang saya gugat adalah seringnya saya menemui kalimat اله (Tuhan) digenaralisirkan secara makna, tanpa melihat kepada apa dan siapa kata اله disematkan. 

Kalau kata اله yang disematkan kepada Allah SWT, tentu makna ini sangat pas sekali dan tidak ada ruang atau celah untuk menggugatnya, karena Allah SWT adalah beanr-benar Tuhan. Namun, jika kata اله disandingkan kepada selain Allah SWT tentu menjadi pantas dan layak untuk digugat. Seperti penyandingan اله pada berhala, Yesus Kristus, Budha Gautama dll.

Pasalnya, entah kenapa saya agak kurang sreg dengan makna اله diartikan sebagai Tuhan jika diperuntukkan bagi sesembahan selain Allah. Alasannya begini.

  1. Di dalam bahasa Indonesia kata اله diartikan dua macam, bisa Tuhan dan bisa sesembahan.
  2. Pada dasarnya, dalam perspektif yang menyembah, antara Allah SWT dan berhala dll adalah sesembahan.
  3. Namun, sesembahan lain membutuhkan makhluk yang menyembah dan meyakininya agar bisa menjadi Tuhan.
  4. Hal ini berbeda dengan Allah SWT (yang pada dasarnya adalah Tuhan asli), yang tidak butuh makhluk untuk meyakini dan menyembah-Nya. 
  5. Karena meyakini ataupun tidak akan ketuhanan Allah SWT, tak berpengaruh pada-Nya. Dia tetaplah Tuhan walaupun tanpa pengakuan dan sembah dari makhluk-Nya.
  6. Sebagai Muslim, kita sudah menegasikan ketuhanan lain dan mengakui bahwa hanya ada satu Tuhan dalam syahadat atau kalimat tahlil, yaitu Allah SWT. 
Nah dari enam alasan ini, saya berfikir bahwa makna Tuhan untuk اله bagi sesembahan lain adalah tidak tepat. Karena Allah SWT (Tuhan) sudah pasti sesembahan, namun tidak semua sesembahan itu Tuhan. Bisa jadi ia tuhan-tuhanan.

Wallahu A'lam bishawab. 

Terjebak Dalam Pikiran "Tidak Mau Merepotkan Orang Lain."

Tulisan ini terinspirasi dari obrolan via ponsel antara saya dan adik kelas.

Sejatinya, tidak menyusahkan orang lain adalah sebuah sikap atau perbuatan yang baik, karena perbuatan tersebut dinilai dewasa dan mandiri. Akan tetapi,
Sumber Gambar: www.upblackberry.com
ada suatu masa di mana sikap tersebut tidak selamanya berbuah manis. Terdapat kondisi tertentu yang justru merugikan diri sendiri.

Ia menceritakan tentang kehidupan yang penuh perjuangan di Malaysia. Selain kuliah S2 (tanpa beasiswa), ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semua pekerjaan, agaknya, sudah dikerjakan, mulai dari menjadi satpam, hingga pelayan restoran. 

Terkadang ia menunggak pembayaran uang kuliah, hingga beberapa kali mendapat teguran dari universitas. Sampai akhirnya, datanglah suatu kondisi yang membuatnya benar-benar kesusahan, diakibatkan oleh faktor keuangan mulai menipis dan visa yang bermasalah. Hatta sampailah ia pada sebuah kesimpulan yang ekstrim, yaitu berhenti kuliah dan segera keluar dari Malaysia.
 
Sangat disayangkan, menurut saya, ia punya 'ideologi' yang cenderung kaku dan sudah tertancap kuat di dalam dirinya, bahwa ia tidak mau merepotkan orang lain. Padahal, ada banyak orang yang mau membantunya dari segi finansial atau yang lainnya. Hal ini terbukti ketika ia sudah berada di Indonesia, sahabatnya menelpon dan menyesalkan sikapnya yang tidak mau berbagi masalah.

Singkat cerita, ia berhikmah kepada saya, bahwa terkadang kita mudah sekali terjebak dalam pikiran tidak mau merepotkan orang lain. Hal ini, mungkin, disebabkan karena gengsi kita yang salah tempat. Ibarat renang, kita tetap keukeh dan yakin dengan pandaianya kita berenang walaupun perut sudah penuh dengan air karena tenggelam. Padahal sebagai makhluk sosial justru manusia membutuhkan manusia lain, butuh orang untuk mengatasi masalah orang.

Di dalam Islam pun sangat ditekankan untuk saling tolong menolong. Bahkan, ada banyak ajaran di dalam Islam yang membenarkan meminta bantuan kepada orang lain, seperti pinjam meminjam, gadai, mudharabah, dan lain-lain.

Terakhir. Sangat bagus punya 'ideologi' tidak mau merepotkan orang lain, namun yang lebih bagus lagi pandai dan lihai menempatkannya.

Wallahu A'lam bishawab.