Penetrasi Ideologi
BAB
I
PENDAHULUAN
Setiap idiologi membutuhkan generasi
untuk memelihara keberadaannya agar tetap eksis di dunia. Ada beberapa cara yang
dilakukan oleh penganut idiologi untuk
memburu para penerusnya, baik dengan menyebarkan faham berupa menerbitkan buku-buku
atau dengan merekrut para pemuda-pemuda yang diharap bisa dan mampu untuk
meneruskan idiologinya.
Salah
satu lahan basah untuk mencari penerus penganut paham sebuah idiologi ialah dengan
merekrut pemuda-pemuda yang berada di kampus. Tentu hal ini disadari oleh
para-para fungsionaris penganut paham idiologi. Karena itulah banyak kita
temukan berbagai macam idiologi di universitas. Biasanya para penganut idiologi
menyasar mahasiswa-mahasiswa baru yang belum muncul timbul sikap kritisnya. Akan
tetapi, tidak semua idiologi itu baik untuk dijadikan pedoman, mahasiswa harus
mampu memilih dan memilah idiologi.
Kemampuan
mahasiswa untuk menyeleksi sebuah paham seyogyanya disandingkan dengan pengetahuan
tentang bagaimana mencegah paham-paham yang tidak baik.
Sebuah
paham keliru yang tersebar di dunia kampus ialah pemahaman tentang Islam tidak syumul
atau Islam itu tidak lengkap. Islam hanya sebatas masalah ibadah mahdhah
saja. Tidak ada konsep ekonomi di dalam Islam, tidak ada sistem politik, sistem
peradilan dan sebagainya. Sehingga dengan adanya pendangkalan pemahaman tentang
Islam ini para orientalis, penjajah dan barat dengan leluasa menyusupkan idiologinya
ke dalam memori umat Islam.
Pemahaman
yang keliru terhadap Islam tak ubahnya virus yang bisa menggrogoti pemahaman
dan keyakinan seseorang terhadap Islam. Sebagai pengidap virus liberal, seorang
dosen lazimnya juga menyebarkan visrusnya kepada mahasiswa. Jika mahasiswanya
lulus dan tidak sadar dengan virus yang menjangkitinya, dia pun akan menjadi
penyebar virus yang baru kepada orang lain. Begitu seterusnya. Siklus
penyebaran virus liberal ini akan berkelanjutan dengan dukungan pendanaan yang
melimpah dari negara-negara Barat dan media yang luas.[1]
Mereka
juga menganggap bahwa penyebab kemunduran Islam pada hari ini ialah akibat kaum
Muslimin tidak berani mengaduk-aduk aturan baku yang sudah ada di dalam Islam.
Padahal Islam tidak boleh ditafsirkan semaunya dengan mengatasnamakan
modernisasi, kebebasan berfikir, apresiasi, dan sejenisnya agar sesuai dengan
target dan kepentingan pribadi. Wahyu diturunkan untuk membentuk kehidupan
manusia, bukan sebaliknya, wahyu dimodifikasi agar sesuai dengan selera dan
kemauan manusia. Manusia harus mendengar apa kata wahyu, bukan wahyu harus
mendengar apa maunya manusia.[2]
Pemahaman
ini terjadi karena kekaguman yang berlebihan terhadap kemajuan barat dan
realitas kondisi umat Islam saat ini telah menyilaukan banyak cendikiawan untuk
mengikuti jalan Barat dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pemikiran
keagamaan.[3]
Padahal kemajuan barat merupakan ‘buah’ dari pergesekan antara peradaban barat
dan Islam. Ketika perang Salib usai mereka banyak membawa peradaban Islam
menuju rumah mereka, seperti teknologi tekstil dan pewarnaannya.
Usaha-usaha untuk menyebarkan paham-paham
keliru juga dilakukan dengan mencoba mempelajari Islam dengan pengembangan studi
Islam yang berbasis pada kesejarahan. Secara sadar atau tidak pengembangan
studi Islam yang berbasis pada kesejarahan telah mengubah corak dan arah studi
Islam di Indonesia saat ini. Studi Islam tidak diarahkan untuk menghasilkan
sarjana yang meyakini kebenaran agamanya, tetapi justru didorong untuk
menghilangkan klaim kebenaran pada agamanya sendiri. Caranya, kadang dilakukan
dengan mengobrak-abrik makna istilah-istilah pokok dalam Islam, seperti makna
Islam, iman, kafir dan seterusnya.[4]
Dalam
pandangan sekuler, Islam harus mengikuti perkembangan manusia. Dalam arti,
ajaran-ajaran yang mereka anggap tidak sesuai lagi dan tidak dapat diterapkan
di era globalisasi ini, konsekuensinya harus dihilangkan kendatipun itu
kewajiban mutlak yang universal. Mereka melakukan (reinterpretasi) terhadap
ketentuan Islam agar lebih bisa diterima dan tidak dianggap berseberangan
dengan kemauan masyarakat modern. [5]
Akhir-akhir
ini kerap terdengar seruan perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi
Al-Qur’an dan ajaran Islam. Alasan yang sering dikemukakan antara lain karena kitab
suci ini dikatakan merupakan refleksi dari dan reaksi terhadap kondisi sosial,
budaya, ekonomi, dan politik pada zaman Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang
primitif dan patriarkis. Karena itu ayat-ayat Al-Qur’an yang terkesan
‘menindas’ wanita, seperti memberbolehkan poligami, menekankan superioritas
suami, mengatur pembagian warisan, ataupun yang terkesan tidak manusiawi (barbaric),
seperti ayat-ayat jihad/ qital dan hukum pidana (hudud), seperti soal
potong tangan, qishah, dan rajam, semua ini perlu ditinjau dan ditafsirkan
kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan
nilai-nilai demokrasi, perlu direinterpretasikan agar sesuai dengan denyut nadi
peradaban manusia modern yang sedang dan terus berubah.[6]
Pandangan-pandangan
yang keliru tentang Islam oleh para cendikiawan sekuler Barat yang mengarah
pada kehancuran manusia. Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang
dikutip oleh DR. Adian Husaini, mengatakan bahwa bagi cendikiawan sekuler
Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran
absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif dierima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya,
adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan
menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia
akhirnya dituhankan dan Tuhan dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaan muncul
sebagai hasil dari kacaunya nilai-nilai.[7]
Adnin
Arnas, M.A. mengatakan tentang paham-paham keliru dan ketidakjelasan para
aktivis liberalisme Islam. Beberapa diantaranya bersifat spekulatif dan
eksperimental. Jika disimak makna liberal itu sendiri tidak jelas. Akibat
kaburnya batasan itu adalah timbulnya ide tak terbatas. Hasilnya gagasan
liberalisasi Islam tanpa konsep yang jelas dapat berujung pada gagasan Islam
liar yang menggunakan jargon kebebasan.[8]
Secara
sadar atau tidak pemuda-pemuda Islam mulai dijangkiti virus-virus jahat
pandangan berupa anggapan bahwa belajar Islam serta mengikuti aturan-aturannya
hanya berakhir pada profesi mengurus mushola. Padahal ilmuan-ilmuan zaman
terdahulu justru menjunjung tinggi kepribadian Islam dan mereka belajar Islam
jauh sebelum mereka belajar Ilmu-Ilmu yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Ghazwul fikri atau perang
pemikiran telah dilakukan oleh para orientalis Barat sejak berabad-abad yang
lalu sebagai bagian dari perang salib dan kolonialisasi yang mereka lakukan di
negeri-negeri timur dan Islam. Tujuan dari perang pemikiran mereka lakukan
adalah unuk melemahkan kaum Muslimin dari dalam. Bentuknya berupa pendangkalan
aqidah, memperlemah ghirah, dan kecintaan umat Islam terhadap agamanya. Mereka
juga menjauhkan kaum Muslimin dengan Al-Qur’an sebagai pedoman. Dengan lemahnya
umat Islam, mereka mudah memecah belah dan mengusai semua segi kehidupan Umat
Islam.
Pendangkalan-pendangkalan pemahaman
terhadap ajaran Islam merupakan pekerjaan besar para orientalis. Kalau dahulu
pendengkalan dilakukan oleh para orientalis langsung melalui tangan para
penjajah. Sekarang para orientalis tidak perlu untuk terjun langsung, mereka
merasa cukup untuk mencetak generasi-generasi mereka yang berasal dari ‘darah
daging’ kaum Muslimi sendiri. Para generasi ini menusuk langsung jantung kaum
Muslimin.
DR. Adian Husaini memberi analogi
tentang pemahaman yang salah tentang Islam, yaitu ibarat virus yang berkembang
biak, membajak, dan merusak sel-sel tubuh. Virus bisa dijinakkan dengan metode
tertentu sehingga bisa disuntikkan kembali ke dalam tubuh untuk merangsang
tumbuhnya anti bodi di dalam tubuhnya.
Di era di mana virus-virus pemikiran
bergentayangan secara bebas di berbagai arena kehidupan, termasuk di perguruan
tinggi Islam, maka cara terbaik ialah dengan mengenali virus pemikiran untuk
kemudian dijinakkan. Sebab, memang tidak mudah lari dari serangan virus.[9]
Islam tidak membatasi dan tidak
melarang penganutnya untuk menerima konsep-konsep dari luar, selama konsep itu
tidak bersinggungan dengan aturan baku Islam. oleh karena itu sikap simpatik
para orientalis tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Adian
Husaini memberikan analisa gamblang tentang asumsi dan juga konsekuensi dari
framework diatas adalah pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang
berbasis pada wahyu. Akan tetapi, sumber ilmu keislaman yang bersifat mutawatir
tidak diakui oleh mereka sebagai sumber valid. Mereka tidak menghubugkan kajian
mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal. Kajian
mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah Al-Qur’an, etika
dalam Islam, dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu
agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri.[10]
Islam tidak juga mengekang penganutnya
dari pengaruh luar. Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah
melahirkan peradaban yang gemilang. Akan tetapi untuk mempertahankan dan
mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya
unsur-unsur peradaban asing. Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban
lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari
peradaban lain tanpa proses adaptasi.[11]
Peradaban Islam yang gemilang padang
abad terdahulu oleh orang masa sekarang banyak dijadikan sebagai bahan untuk
bernostalgia oleh umat Islam pada hari ini. Tanpa merinci bagaimana umat Islam
terdahulu mampu mencapai masa kegemilangan mereka. Sejarah kegemilangan Islam
diajdikan bahan contoh jika ada pihak lain meminta bukti akan kejayaan,
toleransi Islam.
Selain itu, menjadi sebuah keharusan
untuk berhati-hati atas opini-opini yang disebar oleh orang-orang sekuler tidak
boleh ditelan langsung, harus difilter terlebih dahulu. Artinya, jangan mudah
percaya begitu saja dengan opini-opini yang disampaikan oleh kaum-kaum sekuler.
Surat Al-Hujarat ayat 6 dengan tegas memberikan pedoman bagaimana menangggapi
opini-opini yang disebar oleh orang fasik.
“Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti (tabayyun)
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujarat:
6).
Siapakah yang dimaksud dengan fasik
oleh ayat diatas. Kata fasik berasal kata al-fisq yang berarti keluar.
Para ulama mendefinisikan fasik sebagai orang yang durhaka kepada Allah SWT
karena meninggakan peintah-Nya atau melanggar ketentuan-Nya. Tidak mudah begitu
mudah menentukan batasan yang tegas apakah seseorang masuk kategori fasik. Di
dalam Al-Qur’an kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Terkadang, kata fasik
dihubungkan langsung dengan kekafiran dan kedurhkaan (Al-Hujarat: 7) dan
terkadang dihubungkan dengan kebohongan dan percekcokan (Al-Baqarah: 197).
BAB III
PENUTUP
- Pemahaman terhap Islam harus komprehensif tidak bisa hanya dengan mengandalkan perasaan dalam memahami Islam. Sebab Islam mempunyai aturan-aturan baku yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
- Seorang pendeta Kristen asal Irak mengumumkan bahwa sudah saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Seruan semacam ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an.
- Pandangan-pandangan yang keliru terhadap Islam adalah buah dari virus-virus yang masuk ke dalam tubuh umat Islam secara tidak sadar. Seorang pengajar yang tidak sadar terjangkiti virus akan menularkan kepada anak didiknya.
- Dalam sejarah, Rasulullah tidak menutup diri bagi konsep dari luar. Terbukti dengan keterbukaan Rasulullah menerima usulan dari sahabat Salman Al-Farisi dalam membuat parit guna sebagai strategi melawan musuh-musuh Islam.
- Menurut para ulama orang fasik dilarang memegang suatu amanah atau jabatan yang berhubungan dengan kepercayaan. Al-Qur’an sudah memberi garis yang tegas: jika orang fasik membawa berita, telitilah berita yang dibawanya tersebut dan jangan mudah percaya begitu saja kepada informasi yang disampaikan oleh orang fasik.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif,
Syamsuddin. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema
Insani.
Armas,
Adnin. 2003. Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal.
Jakarta: Gema
Insani
Husaini,
Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular- Libera.
Jakarta: Gema Insani
Husaini,
Adian. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema
Insani.
Husaini,
Adian. 2002. Penyesatan Opini. Jakarta: Gema Insani.
[1] . Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Depok:
Gema Insani, 2009), h. 17.
[2] . Adian Husaini, Penyesatan Opini, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
h. ix.
[3] . Op Cit. h. 18
[4] . Ibid, h. 18
[5] . Op Cit, Adian Husaini, Penyesatan Opini, h. ix
[6] . Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema
Insani, 2008), h. 148.
[7] . Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 3
[8] . Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta
Gema Insani, 2003), h. xiv
[9] . Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2009), h. 23
[10] . Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Op Cit, h. xxxii
[11] . Ibid, h. xxxiii
alhamdulillah. tulisan yang mencerahkan.
BalasHapusgood job