Diberdayakan oleh Blogger.

Beberapa Syarat Mencegah Kemungkaran Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi


Kemungkaran merupakan perbuatan yang meresahkan dan bisa menimbulkan bahaya bagi pribadi dan masyarakat. Contoh sederhana saja adalah minuman keras. Jika minuman keras tidak dilarang atau dicegah peredarannya, maka bisa dipastikan akan ada banyak sekali akibat yang ditimbulkannya, seperti tawuran, penusukan, perzinahan, dan lain-lain. Dan tentu akibat dari minuman keras ini akan dirasakan oleh pribadi dan masyarakat disekitar. Oleh karena itulah, sebagai diri pribadi Muslim hendaklah kita menjadi pionir atau minimal punya andil dalam mencegah kemungkaran.

Di dalam Islam mengubah atau mencegah kemungkaran tentu merupakan perbuatan yang sangat mulia. Karena selain sebagai "tugas" dari agama, kemungkaran bisa juga mencegah akibat yang timbul oleh kemungkaran itu sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh hadits riwayat Muslim, yaitu tentang Rasulullah saw menjelaskan hirarki dalam mencegah kemungkaran.

 عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
 وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
 [رواه مسلم] 

Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (Riwayat Muslim).

Sebagai generasi muda Islam dan Indonesia kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana kriteria kemungkaran itu sendiri, agar kelak tidak terjadi kesalahan, gegabah, dan tanpa ilmu dalam mencegah kemungkaran.

Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi ada beberapa syarat untuk mencegah kemungkaran, yatu:

 1. Haram.
Artinya sebuah kemungkaran itu merupakan perbuatan yang masuk dalam kategori haram, yaitu berupa Allah SWT sendiri yang meminta dengan tegas untuk ditinggalkan, dan orang yang melanggar larangan Allah SWT kena hukuman. Baik berupa tindakan yang terlarang atau menelantarkan perintah.   

Ada beberapa catatan yang benar-benar harus diperhatikan.
  • Makhruh dan meninggalkan hal yang sunat tidak termasuk mungkar.
  • Menolak kemungkaran tidak boleh semata-mata ijtihad dan pendapat yang bisa saja benar dan bisa saja salah, serta bisa saja berubah dengan berubahnya ruang, waktu, kondisi dan situasi.
  • Bukan merupakan perkara yang masuk dalam ranah ikhtilaf atau para ulama berbeda pendapat tentangnya (baik ulama zaman lampau atau masa sekarang). 
2. Kemungkara itu jelas terlihat atau muncul dengan nyata.

Maksudnya di sini adalah kemungkaran yang jelas terlihat. Sedangkan kemungkaran yang dilakukan dengan cara sembunyi, maka kita tidak boleh untuk memata-matai baik dengan memasang kamera, memasuki rumahnya secara paksa, dan memasang alat penyadap untuk membuktikan kemungkaran yang dilakukan. 
Islam menyerahkan kepada Allah SWT sepenuhnya bagi kemungkaran yang dilakukan secara diam-diam. Allah SWT kelak yang akan memberi hukuman kepada pelaku kemungkaran secara diam-diam.
3. Adanya kemampuan untuk mengubah.
Orang yang hendak mencegah kemungkaran haruslah orang yang mempunyai kemampuan, baik kemampuan diri sendiri atau dengan bantuan orang lain.

Siapa saja yang tidak sanggup melakukan pencegahan dengan tangan (kekuasaan), maka boleh diserahkan pada orang yang mampu untuk melakukannya, lalu ia cukup melakukan pencegahan dengan lisan, dengan memberikan penjelasan. 

4. Pencegahan tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Pencegahan itu haruslah dipertimbangkan matang-matang tentang apakah pencegahan ini menghasilkan kemungkaran yang lebih besar atau tidak. Tindakan pencegahan itu diyakini tidak menyebabkan pertumpahan darah, tidak akan terjadi pelanggaran dan perampasan harta benda, dan lain-lain.
Oleh karena itu, para ulama membolehkan untuk bersikap diam di hadapan kemungkaran, karena bila dilakukan pencegahan dikhawatirkan akan terjadi kemungkaran yang lebih hebat lagi. Sikap ini diambil dengan pertimbangan memilih kerugian dan kerusakan yang ringan.
Selain itu, kita harus mempunyai kecerdikan dalam pencegahan kemungkiran, dengan perlahan-lahan dan menggunakan cara yang lembut. 
Wallau A'lam Bisshowab. 



Dirangkas dari:
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press,__ ), cet., __ dan cet., I tahun 1997, hlm., 201-214.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar di sini.